8 Musisi/Band Cuma Punya Satu Album yang Wajib Kamu Dengar Sekarang Juga

Dari sekian banyak solois atau band yang pernah mewarnai sejarah panjang musik populer, kita cenderung hanya mengingat nama-nama besar saja. Entah itu band rock dinosaurus semacam Deep Purple dan Led Zeppelin, pemenang Grammy Award lima kali, serta ikon rock yang wajah atau lambang bandnya sudah dicetak di t-shirt bajakan. Paling mentok, kita juga cuma bisa mengingat band-band pionir skena yang menyediakan jalan bagi para peniru di genre tersebut.

Sayang, seiring bertambahnya usia, cuma band-band terlalu populer itu yang akan terus nempel di otak kita. Lagu-lagu mereka menemani kita mungkin sampai ajal menjemput.

Videos by VICE

Lalu, bagaimana nasib band atau solois yang sepanjang karirnya hanya sempat melepas satu album? Ada banyak sekali lho band/solois yang bernasib seperti ini. Tentu saja, mereka tak melanjutkan bikin album karena berbagai alasan, baik itu a) album itu cuma proyek sampingan melenceng jauh dari band utama mereka; atau b) bandnya langsung bubar atau gontok-gontokan sesudah mengeluarkan album. Sejujurnya, alasan yang akurat biasanya karena album itu jelek atau jeblok di pasaran.

Untungnya semua album semata wayang dari seorang musisi atau band tak selalu berakhir tragis. Sejumlah album tunggal, misalnya, begitu memukau sampai kita mati-matian berpikir kenapa mereka tak kunjung membuat lanjutannya. Barangkali itulah yang bikin album-album dalam daftar ini terasa keren. Sebab band/musisi di baliknya tak merasa perlu membikin album lanjutan yang berisi curhat soal kebencian pada popularitas, atau bagaimana mereka jadi pecandu obat-obatan terlarang dan seks.

Dalam daftar album tunggal yang keren di bawah ini, kami memang sengaja meninggalkan judul-judul yang biasanya dipilih, misalnya The Miseducation of Lauryn Hill, Out of Step (dari Minor Threat), album satu-satunya The Sex Pistol Never Mind the Bollocks, dan debut self titled The La’s. Kenapa? Karena album-album itu bagus dan sudah sering dibicarakan. Kami yakin sidang pembaca semua terlalu sering membaca ulasan sejenis.

Buat apa buang waktu membahas hal yang sama. Lebih baik, energi yang kita punya dipakai mengulas album-album tunggal luar biasa yang kalah populer. Album dalam daftar ini sering dianggap numpang lewat dalam kancah musik populer, hanya dikenal di kalangan tertentu, dan baru banyak diburu ketika dirilis ulang beberapa tahun setelah dirilis.

Jadi, mari kita biarkan daftar album ini mengambang dan terombang-ambing di internet agar netizen lain—terlepas mereka doyan mengulik musik atau tidak—membacanya.

Test Icicles – For Screening Purposes Only

Trio asal London yang berumur pendek ini mulai populer di saat dance punk sedang menggila di awal dekade 2000an. Waktu itu, radio atau DJ-DJ disko dadakan sepakat menyetel lagu The Raptures “House of Jealous Lovers.” Berbeda dari band-band pada masa itu, Test Icicles mengadopsi sound dance punk, mengobrak-abriknya seenak jidat, lalu memasukkan elemen screamo dan thrash metal. Alhasil di tangan Test Icicles, musik dance terdengar seperti Glassjaw yang keranjingan rave party.

Sayangnya, Test Icicles bubar setahun setelah melahirkan debut ini. Tiap personelnya kelak akan melahirkan berbagai proyek menarik. Namun, yang paling menyita perhatian adalah proyek Dev Hynes. Kita tahu Dev Hynes membentuk Lightspeed Champion sebelum akhirnya mencapai puncak ketenarannya lewat Blood Orange.

FYI: Jika kalian pikir nama Test Icicles mesum, kalian harus tahu kalau sebelumnya band ini punya nama yang lebih jorok: Balls.— Joe Zadeh

Madvillain – Madvillainy

Sebagai solois, baik MF Doom dan Madlib berulang kali menggemparkan kancah rap global. Namun, sebagai Madvillain, keduanya hanya pernah merilis ‘satu setengah’ album, yakni Madvillainy adan Madvillainy 2: The Madlib Remix. Cuma, karena album kedua cuma berisi remix track-track album pertama mereka—dan konon dilepas karena Madlib tak sabar menunggu album kedua mereka direkam—kami menganggap duo berbahaya ini cuma pernah menelurkan satu album.

Sebagian penggemar musik mungkin sudah hafal sama berbagai sanjungan kritikus untuk album ini. Kalian juga pasti mafhum sebesar apa pengaruh album ini pada generasi rapper dan produser setelahnya. Jadi, bila kalian hingga kini belum sempat menjajal album ini, kalian punya PR besar: segera menyimak dan mendengarkan dengan seksama seluruh lagu dalam Madvillainy. — Ryan Bassil

Germs – GI

Darby Crash adalah satu musisi yang ujung hidupnya paling tragis. Crash semasa hidup dikenal sebagai seorang pecandu narkoba yang tak malu-malu mengatakan ingin segara meninggalkan dunia ini. Dia akhirnya meninggal karena sengaja overdosis heroin pada umur 22 tahun. Crash ibarat sosok puitis dan brutal seperti karakter novel-novel J.G. Ballard.

GI sejatinya album hardcore punk sebelum banyak orang mengenal apa itu hardcore punk. Tempo track-track-nya cepat, penuh kegeraman, galak tanpa sedikitpun memiliki keharusan memunculkan melodi, dan ironisnya, terdengar sangat hidup. Energi meledak-meledak anggota Germs tercurah dalam aksi-aski panggung mereka yang destruktif.


Tonton dokumenter VICE soal band industrial metal keren yang cuma punya satu personel dan bikin semua instrumen musiknya sendiri:


Album satu-satunya Germs diproduksi Joan Jett. Berkat gaya produksi Joan Jett yang tak begitu saklek, semua aspek album ini terpampang begitu gamblang dan telanjang. Musik Germs sengaja dibuat begitu sederhana, sebagai panggung bagi bacotan Darby Crash yang mengambil inspirasi dari banyak ikon pop, dari David Bowie hingga Charles Manson. Membaca lirik Crash sama memuaskannya dengan mendengarkan keseluruhan album Germs—hal yang tak bisa kita dapatkan lirik band lain, apalagi band punk sezamannya.

Jauh setelah bubar, Germs menjadi sumber inspirasi bagi skena skate punk hingga band yang jauh lebih besar dari mereka, macam Sonic Youth. Kenyataan ini bikin saya bertanya-tanya: apa yang bisa dilakukan Germs andai Crash hidup lebih lama? — Emma Garland

Wild Flag – Wild Flag

Konsep “indie supergroup” itu sebenarnya konyol. Namun, predikat menjijikan itu tiba-tiba begitu cocok dan alami saat dikenakan pada Wild Flag, supergroup yang merilis album semata wayang mereka pada 2011.

Wild Flag diawaki oleh Carrie Brownstein (gitaris Sleater-Kinney, yang belakangan lebih dikenal sebagai bintang serial komedi Portlandia), drummer Bright Eyes Janet Weiss, guitaris Mary Timony (dari Autoclave) dan mantan drummer The Minders, Rebecca Cole yang untuk grup ini bermain keyboard. Barangkali karena diawaki oleh sosok sekonyol Brownstein, Wild Flag memperkenakan diri pada khalayak netizen lewat status Facebook aneh: “Tahu enggak gimana suara salju longsor yang menenggelamkan ikan lumba-lumba? Kira-kira kamu dapat jika kamu mengawinsilakngkan hotdog dan hamburger? Jawabannya: WILD FLAG.”)

Wild Flag memutuskan hiatus sejak 2013. Alasannya: karena mereka kerepotan ngeband dan tak tahan harus “terbang lima jam untuk ngumpul latihan.” Sejak saat itu, kita harus puas dengan satu album Wild Flag saja, sambil berharap mereka bikin sesuatu yang baru. — Francisco Garcia

Life Without Buildings – Any Other City

Masih ingat saat kamu muda dan polahmu belum dibatasi tuntutan hidup? Itu masa-masa ketika kamu jadi orang percaya, betapa dirimu akan memesona banyak orang dengan menggabungkan sifat narsis, sinisme, sikap masa bodoh, dan kesombongan khas anak kuliahan bahwa kalian bisa mengubah dunia?

Masih ingat juga dirimu yang dulu menyukai sesuatu, tapi memilih menunjukkan ketidaksukaan karena itu sikap yang lebin keren? Dirimu yang dulu yang masih punya band favorit dan menghayati semua lirik lagunya? Tenang, versi dirimu yang naif ini tak mati. Ingin kembali menghidupkannya? Gampang kok. Setel saja album ini. Beres perkara. — Josh Baines

The Postal Service – Give Up

Saya punya cerita lucu tentang album ini. Jadi, pada 2013 saya datang ke Festival musik Primavera. Tahun itu, album Give Up sedang dirilis ulang dan The Postal Service menggelar konser reuni di Primavera. Hari itu, saya “mengonsumsi sesuatu” dan kehilangan ingatan akan beberapa jam dalam hidup saya di sana. Ketika akhirnya sadar seperti orang mabuk yang baru siuman lainya, saya untungnya langsung bisa menemukan teman-teman lain, membeli topi jerami dan tak terjebak dengan kegiatan seks asal-asalan. Satu-satunya bukti saya sempat hilang kesadaran adalah burger vegetarian yang baru setengah saya lahap. Sisa burger itu masih tersimpan di tote bag saya.

Ketika saya mulai sadar, matahari sudah turun. Sekejap kemudian, terdengar suara synthesizer pembuka lagu “The District Sleeps Alone Tonight” yang menandai set The Postal Service. Hari itu, karena mereka cuma punya satu album, The Postal Service memainkan semua track di album Get Up plus satu cover lagu Beat Happening “Our Secret.”

Saya enggak bilang Postal Service menyelamatkan hidup saya. Saya juga tidak bisa bilang Give Up adalah alasan saya batal diusir bagian keamanan Primavera karena ketiduran sebuah stand makanan gara-gara pengaruh narkoba. Masalahnya, setelah merasakan sendiri set sepanjang 45 menit The Postal Service yang penuh momen transendental, metafora yang saya pakai untuk menjelaskan kekuatan album ini sepertinya cukup akurat. —Emma Garland

Late of the Pier – Fantasy Black Channel

Jika dipikir-pikir lagi, lagu album semata wayang dari Late of The Pier adalah karya musik yang bernasib mujur. Di satu sisi, track-track glitter funk kelewat manis itu seharusnya tak lagi relevan dalam kancah musik masa kini. Di sisi lain, album ini meneruskan pondasi yang sudah dibentuk oleh Gary Numan, Brian Ferry, dan band seangkatannya The Klaxons dengan paripurna. Itulah sebab 12 lagu yang kental dengan semangat dance music kekinian di album ini terasa begitu menyengat—meski dirilis nyaris satu abad setelah skena New Rave Inggris mati suri.

Semua itu bisa terjadi karena Fantasy Black Channel terdengar asing. Butuh sekelompok musisi spesial untuk menghasilkan album yang menonjok. Album ini sukses mencampur remah-remah house, techno, David Bowie dan musik pop top 40, menggabungkannya menjadi ramuan yang ciamik. Hingga ini, Late of the Pier masih memiliki status sebagai band cult. Sesekali, penggemar berat mereka muncul dari persembunyian dan memohon agar Late of the Pier kembali bergabung serta menggarap album baru. Ryan Bassil

Hark! It’s A Crawling Tar-Tar – Dorr Darr Gelap Communique

Jika saya tak membaca review Rian Pelor atau Farid Amriansyah di majalah Trax, niscaya saya tak akan menyimak album satu-satunya band hardcore/neo-crust jenius dari Kota Bandung ini. Dalam reviewnya, jika ingatan saya tak meleset, Pelor menyebut album ini sebagai bongkahan emas lanskap hardcore lokal. Pelor tak keliru. Dorr Darr Gelap Communique punya modal besar menjadi album klasik sejak pertama kali dirilis label Thrash Steady Syndicate 12 tahun lalu. Paduan musik dalam album satu-satunya eks anggota Domestik Doktrin ini amat edan dan inklusif. Jangkauan influence-nya luas, merentang dari thrash yang ngebut, kegeraman ala crust, folk, hingga sample antah berantah di sana-sini.

Bagaimana dengan liriknya? Oh tak usah diragukan. Ari (vokal), Dede (gitar), Kenji (drum), Uwep (bass) dan Billy (gitar) mengimbangi oplosan musik luar biasa dengan lirik hyperliterate dan sesekali kocak. Kalian cukup melihat daftar lagu (Gastroinal Disorder Ricochets In Rengasdengklok Exposintesté; A Hoax?, Situ Bagendit: Terpaksa Di-Persona-Non-Grata) untuk mengecap kecanggihan lirik mereka.

Tema yang diangkat masih relevan bahkan sampai era cebong-kampret. Ambil contoh, “Robohnya Surau Mereka”—plesetan dari judul cerpen AA Navis—bicara panjang lebar tentang kekolotan penganut agama. Dalam liriknya, Ari bernyanyi “Kuasa bankir-Kuasa mimbar/Tak perlu engkau curi start.”—jadi ini band yang membahas komodifikasi agama demi syahwat politik atau ekonomi? Kayaknya orang Indonesia sudah terlalu akrab sama topik beginian jelang pemilu.

Pendek kata, tiap kali saya pengin merasa lebih pinter, saya langsung menyetel album ini kapanpun itu. Ritual ini bakal saya lakoni sampai kapanpun— Abdul Manan Rasudi

Artikel ini pertama kali tayang di Noisey