Menjadi berseberangan dengan selera arus utama kadang membawa kesukaran-kesukaran tersendiri. Kesukaran yang paling umum, kita tergoda untuk mengikuti hype akan sesuatu yang sebenarnya enggak kita ngerti-ngerti amat, atau lebih gawat lagi, sesuatu yang kita enggak suka-suka amat.
Kesukaran lainnya, kita jadi ragu untuk mengomentari jelek sesuatu yang oleh masyarakat umum dipandan baik, bagus, keren, dan adiluhung. Kita takut diserang balik oleh padoeka jang moelia netizen yang maha benar jika punya pandangan berbeda soal, misalnya saja, Bumi Manusia novel Pramoedya Ananta Toer yang kadung angker oleh segala cerita di balik roman historis itu.
Videos by VICE
Tapi sebenarnya santai aja lagi. Enggak perlu terlalu takut untuk mengutarakan pendapatmu yang sebenarnya. Nilai baiknya, kamu memunculkan keberanian di hati orang-orang lain yang punya pandangan serupa tapi selama ini memilih untuk diam. Syukur-syukur suatu hari nanti orang lain juga berani ikut bicara.
Nah untuk merayakan keberanian menjadi berseberangan dengan selera mainstream, kami urutkan daftar-daftar ikon pop kultur yang sebenarnya kalau dilihat-lihat lagi sudah terlalu overrated alias lebay. Boleh setuju, boleh enggak, ini daftarnya kami urutkan buatmu:
STAR WARS
Tahu enggak kalau tokoh favorit George Lucas di Star Wars itu Jar Jar Binks? Dia pernah mengatakan suka Jar Jar Binks di sebuah wawancara. Padahal banyak tokoh hebat di Star Wars, tapi dia malah suka dengan makhluk menyebalkan dan rasis ini.
Kali ini saya enggak ingin bahas Jar Jar Binks atau tokoh lainnya. Saya cuma ingin bahas kenapa menurut saya film ini biasa saja. Film ini sama saja seperti film komersial lainnya yang ingin meraup keuntungan sebesar-besarnya. Tidak peduli jalan ceritanya tidak bagus.
Gini deh. Waktu film pertama Star Wars dirilis pada 1977, jarang ada orang yang bilang film ini bagus. Bahkan Lucas sendiri yakin kalau debut Star Wars tidak akan laku di bioskop. Film perang antar galaksi ini sangat “terinspirasi” film garapan Akira Kurosawa yang tentunya jauh lebih bagus. Kalau saya pikir-pikir, perang antar galaksi ini terjadi karena masalah keluarga saja.
Saya enggak mengerti kenapa film kekanak-kanakan ini bisa dianggap film sci-fi terbaik yang pernah ada. Saya juga enggak paham sama orang dewasa yang suka nonton film tentang makhluk aneh dan perang pedang laser. Apa serunya? — Jonathan Vit
THE GREAT GATSBY
‘Saya ini memang kutu buku rese’ yang harus banget baca novel sebelum nonton filmnya. Saya akhirnya baca The Great Gatsby waktu filmnya ada di bioskop. Selain karena penasaran ingin nonton filmnya, saya memang sudah lama berencana baca bukunya. Banyak yang bilang The Great Gatsby bagus. Bahkan buku ini dinobatkan sebagai buku klasik yang wajib kita baca.
The Great Gatsby sangat populer, jadi ekspektasi saya tinggi. Saya sudah yakin bakalan suka, tapi malah kecewa setelah membaca. Menurut saya buku ini tidak sebagus yang orang katakan. Padahal ceritanya pendek, tapi saya lama banget menyelesaikannya. Tidak mood untuk lanjut baca.
Inti ceritanya yaitu ada pria kaya, Jay Gatsby, yang sering mengadakan pesta besar-besaran buat menarik kembali hati Daisy Buchanan, gebetannya sejak masih muda. Para tokohnya sangat menjengkelkan. Terutama si Daisy ini. Dia cantik, tapi pikirannya dangkal. Dia egois banget. Hanya peduli sama dirinya sendiri. Sejujurnya sih saya lebih kesal dengan Fitzgerald yang menokohkan Daisy seperti itu. (Yah, namanya juga penulis pria. Jadi sudah paham lah.) Hubungan percintaan Daisy dan Gatsby terlalu mengada-ada. Saya tahu ini buku fiksi, tapi saya tidak pernah baca yang selebay ini. Saya paling tidak suka dengan unsur perselingkuhan yang ada di The Great Gatsby. Saya sudah terlalu sering baca novel tipe begini. Kayaknya susah banget ya buat buku yang tidak ada cinta segitiganya?
Intinya, saya belum menemukan alasan kenapa orang bisa suka The Great Gatsby. Tidak ada pesan yang bisa diambil dari sini. Saya pun jadi malas nonton filmnya. Tapi, entahlah. Mungkin saya saja yang tidak mengerti seni. Kalian tidak perlu khawatir kalau belum baca The Great Gatsby. Kalian tidak akan menyesal kalau tidak baca. — Annisa Nurul Aziza
MUSEUM MACAN
Saat pertama kali mendengar kabar Museum MACAN akan membuka pameran di Indonesia, jujur nih ya, saya sempat tertarik. Unggahan tentang Museum MACAN beredar di mana-mana, mulai dari tagar hingga foto selfie rangorang di Instagram-nya. Salah satu sudut dengan motif polkadot warna-warni itu memang menarik perhatian mata. Namun semua ketertarikan itu sekejap hilang setelah linimasa Instagram saya dibanjiri unggahan foto di tiap sudut museum. Mulai dari foto di Infinity Mirror Room karya Yayoi Kusama, berpindah ke sudut instalasi Dots Obsession yang dipenuhi polkador warna-warni.
Enggak ada yang salah dengan orang-orang berfoto di sana, hanya saja saya jadi bertanya-tanya: lantas apa esensi dari karya seni yang dipajang di sana? Hingga akhirnya saya malah berbalik tak tertarik untuk datang, sebab mungkin bisa saja saya hanya akan melihat ratusan pengunjung berebut foto di salah satu sudut yang ‘Instagrammable’ di sana ketimbang mencoba merenungi karya-karyanya.
Ketidaktertarikan kian menguat setelah mengetahui tiket masuk untuk satu orang dewasa dikenakan harga Rp 100 ribu. Untuk kaum proletariat macam saya ini, uang Rp 100 ribu hanya untuk masuk museum sih…. overpriced. Ini pendapat saya loh, ya.
Bagi saya, Museum MACAN tak lebih dari kotak-kotak ruang tempat para pengunjung berebut mengambil gambar terbaik untuk diunggah di media sosial demi ratusan atau ribuan likes. Namun sekali lagi, ini bagi saya loh, ya. Buta seni? Bisa jadi. Whatever. — Sattwika Duhita
BUMI MANUSIA
Tahukah kalian apa novel Indonesia yang paling bikin jiper karena terkesan tidak bisa/boleh dikritik? Yak, betul: Bumi Manusia. Bahkan saya sudah menyiapkan mental untuk dikecam para “penggemar” Pramoedya Ananta Toer—sastrawan besar yang melahirkan Bumi Manusia serta tiga novel lanjutan yang kini populer dijuluki Tetralogi Buru. Rencana adaptasi filmnya oleh Hanung Bramantyo bahkan dimaki-maki terus oleh para fans garis keras itu hingga artikel ini dilansir.
Begini, Bumi Manusia itu bagus kok. Novel dengan pilihan cerita yang sangat jarang dilirik, serta bisa memberi kita gambaran persemaian nasionalisme sebelum bangsa bernama Indonesia lahir.
Pram meniatkan Bumi Manusia sebagai bab pengantar sebelum lebih fokus mengangkat perjalanan hidup sosok Bapak Pers Nasional, Tirto Adhi Soerjo yang disebut salah satu tokoh intelektual Jawa pertama aktif menyemai gagasan nasionalisme di Hindia Belanda selama kurun 1889 hingga 1918.
Status Bumi Manusia yang penuh mitos dalam jagat sastra Indonesia karena penggemar sastra mendapuknya sebagai karya terbaik Pram. Masalahnya, yakin mau menyebut novel ini karya terbaiknya?
Percintaan Minke dan Annelies itu cepat sekali terjadi dan plotnya penuh dengan kebetulan-kebetulan yang menguntungkan si protagonis cerita. Lalu, Pram kadang menyelipkan terlalu banyak ceramah tentang wacana/ide, sehingga dialog terasa tak wajar. Coba deh simak percakapan Minke dengan Sarah dan Miriam de la Croix soal peran bumiputera yang menarik… kalau Bumi Manusia adalah buku nonfiksi. Plus, *awas spoiler* adegan seks Minke dan Annelies itu B aja belum. Kalau kata sastrawan Ajip Rosidi, seperti dituliskan Muhidin M. Dahlan: “Ajip saja mengaku nggak ada horni-horninya setelah Pram membocorkan adegan romantis malam pertama Minke dan si Bunga Awal Abad.”
Itu baru Bumi Manusia lho. Di Anak Semua Bangsa fragmen paling kuat dan puitis bisa dibaca dari kisah Surati yang dikawin paksa oleh Frits Homerus Vlekkenbaaij (tapi dijuluki warga Pelikemboh), tuan kuasa pemilik pabrik gula Tulangan. Sisanya mulai jadi kronik perjalanan Tirto jadi aktivis. Jejak Langkah murni kronik sejarah (cuma enak dibaca sekali). Rumah Kaca agak mending sih, karena sudut pandang tokoh utama diubah ke sosok arsiparis kolonial.
Intinya, hanya karena novel Bumi Manusia dan tetralogi secara keseluruhan penting secara sumbangan bagi wacana sejarah Indonesia, jangan dicampuradukkan sama klaim ini novel terbaik Pram.
Begini, kalau patokannya kepaduan plot dan juga karakterisasi, ada banyak penggemar hardcore Pram lainnya yang tak ragu berargumen bahwa Arus Balik, Gadis Pantai, atau Bukan Pasar Malam jauh lebih matang. Ceritanya oke, karakterisasi top, dan Pram benar-benar bercerita. Jauh lebih oke sebagai karya sastra dibanding Bumi Manusia.
Saya khawatir, banyak orang yang takut untuk mengaku tidak terlalu menikmati Bumi Manusia lantaran takut dirajam. Status Pram sebagai satu-satunya sastrawan Indonesia yang menjadi kandidat peraih Nobel Sastra menambah angker karya-karyanya.
Terlebih, penggarapan Tetralogi Buru yang dramatis, berlangsung selama Pram dipenjarakan Orde Baru karena dituduh terlibat G30S, makin membuat citra karya sastra ini bukan main-main.
Intinya, Pram manusia biasa. Kalau kalian baru sekali baca Pram dan tak terkesan sama Bumi Manusia jangan langsung menyerah. Itu bisa jadi bukan salahmu. Coba deh baca karya-karyanya yang lain, selain yang Tetralogi Buru. Pram adalah salah satu sastrawan Indonesia modern yang terbaik di angkatannya. Tapi kalian enggak berdosa kok kalau ternyata menganggap Bumi Manusia enggak terlalu bagus. Santai. — Ardyan Erlangga
MY TRIP MY ADVENTURE
My Trip My Adventure bukanlah acara wisata biasa, MTMA punya fanboy fanatis, salah satu cult paling eksibionis yang pernah aku lihat. Dari hasil pengamatanku selama bertahun-tahun secara konsisten, cuma kaos My Trip My Adventure yang dipakai sebanyak dan sesering kaos National Geographic dan Slank di Indonesia. Ini bukan statistik ya.
Aku punya alasannya. Oke, wajar lah kalau National Geographic yang sudah berdiri sejak 1800-an dan punya basis forum penggemar seluruh dunia atau Slank yang sudah dua dekade berjaya dan konsernya tak pernah sepi sekalipun punya pengikut fanatis tersendiri. My Trip My Adventure adalah kuda hitam yang muncul tidak lebih dari lima tahun lalu, yang popularitas kaos knock-off-nya sanggup menyaingi Natgeo sekalipun. Tak jarang kita melihat kaos knockoff My Trip My Adventure dijual dalam etalase yang sama dengan knockoff Supreme dan Gucci. Indikator lainnya dari kepopularan cult ini, kini semua harus punya drone agar bisa punya foto instagram aerial shot seindah… My Trip My Adventure.
Apa istimewanya sih My Trip My Adventure? Tak jauh beda dengan acara-acara ‘wisata’ ala stasiun TV Indonesia yang jargonnya selalu seragam: ‘Mengeksplorasi kekayaan alam Indonesia’ atau ‘Membuktikan bahwa Indonesia indah dan kaya’. Jargon yang mengerikan, karena bukan mustahil mereka membuka peluang bagi eksploitasi lainnya tanpa memberi dampak berarti untuk masyarakat lokal. Jangan salah, mereka juga memberi ruang koko buat orang-orang lokal! Iya iya… host yang rata-rata setengah bule akan datang ke pelosok Indonesia bertemu dengan orang lokal yang membuat layar mereka semakin manis dan estetis, menguatkan fakta bahwa mereka sedang di Papua atau NTT misalnya. Singkatnya, untuk menambah nuansa eksotisme ‘timur jauh’.
Sesekali tayangannya dibumbui drama kecil-kecilan yang diperankan host dengan scoring yang bisa bikin penonton panik. Namun resep wajib di dalam tayangan ini adalah nasionalisme banal betapa mereka cinta Tanah Air karena keindahan surgawinya, sekaligus melepaskan permasalahan marjinalitas masyarakat di dalamnya. Kok ngomongin marjinalitas sih kaan emang ini acara traveling eye-candy senang-senang? Ya terserah lah kalau betah menonton acara yang isinya tak jauh dari host setengah bule dari kota besar menemukan air terjun “terpencil” di “Timur Jauh” dan selama satu segmen tak memberikan informasi penting apapun kecuali haha hihi dan fakta bahwa “kondisi cuaca Nusa Tenggara Timur memang panas”. Jangan lupa akhiri tayangan dengan aerial shot dan lagu Coldplay yang dreamy sebagai pemanis. — Arzia Tivany Wargadiredja