Hukum Indonesia Membuat Korban Pornografi Balas Dendam Sulit Mencari Bantuan

Salwa* sedang bercengkrama bersama keluarganya saat dia menerima pesan bertubi-tubi di ponselnya. Perempuan 22 tahun ini baru saja putus setelah berpacaran selama dua setengah tahun. Penyebabnya, dia muak dengan perilaku sang mantan yang posesif dan gila kontrol. Tidak mudah memutuskan hubungan dengan orang seperti itu. Setidaknya, Salwa kira, putus bisa membuatnya menjalani hari-harinya lebih damai.

Kelak dia sadar dugaannya keliru. Pesan-pesan pendek tadi menyarankannya membuka Facebook. Dia membuka aplikasi tersebut lewat ponselnya dan seketika kerongkongan tercekat. Sang mantan mengunggah sejumlah foto-foto privat. Sebagian foto tersebut menampilkan tubuh Salwa tanpa sehelai benang. Sebagian foto menampilkan dirinya sedang tidur pulas, juga tanpa pakaian. Kepala Salwa berkunang-kunang. Dia tahu mantannya menyimpan password akun Facebook miliknya, tapi Salwa tidak pernah menyangka lelaki yang pernah dia cintai itu sanggup melakukan hal setega ini.

“Aku enggak percaya,” kata Salwa kepada VICE. “Ada banyak banget foto, dan ada foto aku lagi tidur, aku enggak nyadar difoto.”

Dia tidak tahu mesti berbuat apa. Keluarganya terlanjur melihat foto-foto tersebut. Dia bisa bilang apa? Lagi pula, keluarganya tidak tahu Salwa berpacaran. Dia akhirnya mengaku saja bila foto-foto tersebut adalah hasil editan photoshop. Kebohongan itu toh tak membantu sama sekali. Melihat foto-foto pribadinya diumbar ke internet membuatnya sedih dan malu, sampai-sampai dia sempat tak berani pergi ke kampus lagi.

“Aku takut di-judge” kata Salwa. “Saat itu aku lagi mau ngerjain skripsi, skripsiku tertunda sampai setahun. Aku bener-bener super introvert sekarang. Dulu aku bener-bener mau temenan sama semua orang. Sekarang susah banget percaya orang.”

Sang mantan terus menghubungi Salwa dan keluarganya selama dua tahun berikutnya. Dia terus meyakinkan Salwa agar balikan. Akhirnya, mantannya itu mengakui dialah yang mengunggah foto-foto tersebut ke internet. Tapi, saat itu Salwa memutuskan tidak akan melaporkan mantannya ke polisi. Dia tidak mau harus mengulangi kejadian traumatis tersebut. “Aku sama sekali nggak pernah cari bantuan,” ujarnya. “Aku enggak ke polisi karena proses pelaporan pasti trauma. … Aku juga enggak mau ke psikiater, aku mikir kayaknya dia enggak bakal ngerti.”

Salwa adalah satu dari begitu banyak korban di seluruh dunia, atas tindakan yang disebut “revenge porn.” Revenge porn adalah tindakan tidak etis dan seringkali ilegal, dalam wujud mengunggah foto-foto telanjang seseorang yang dilakukan oleh mantan yang menyimpan dendam, seorang peretas, atau siapapun yang entah bagaimana bisa mengakses ponsel kita. Tindakan ini adalah pelanggaran privasi, bahkan termasuk tindakan kekerasan seksual. Persebaran video revenge porn di Indonesia berulang kali terjadi dan memantik sorotan dari dunia. Pemerintah mencoba mencari cara mengatasi maraknya rekaman seksual tersebar ke Internet. Masalahnya di Indonesia—sebuah negara yang sistemnya menghukum distribusi pornografi sekaligus korban “revenge porn”—sosok-sosok dalam video seks tidak akan bisa hidup normal lagi.

Kita tentu masih ingat bagaimana bintang pop besar Indonesia menjalani hukuman penjara dua tahun setelah dua video seks yang ia rekam untuk kepentingan pribadi tersebar di internet. Video-video ini dicuri salah satu karyawan Nazril Ilham alias Ariel sang vokalis Peterpan, lantas diunggah ke internet tanpa sepengetahuannya. Nyatanya pengadilan tetap memutuskan Ariel bersalah atas pelanggaran undang-undang pornografi. Undang-undang inilah yang membuat korban revenge porn enggan membuat laporan polisi. Undang-undang ini mencantumkan ancaman hukuman penjara maksimal 15 tahun bagi siapapun yang terbukti mendistribusikan materi bermuatan pornografi di Indonesia.

Pasal dalam beleid bermasalah ini turut mengatur “pornoaksi”—istilah kabur yang digunakan untuk mendeskripsikan “moral” oleh aparat polisi di Tanah Air. Jenis tarian tertentu, atau tipe rok pendek, atau kedapatan berada di tempat spa di mana pria gay suka nongkrong bisa dinyatakan sebagai tindakan pornoaksi berdasarkan Undang-undang tersebut.

Tafsir pasal-pasal dalam UU Pornografi sangat kabur, sampai-sampai korban revenge porn yang sebenarnya adalah korban, bisa dijatuhi hukuman pula, terutama jika awalnya merekalah yang mengirim video dan foto tersebut pada sang pacar. “Most cases involve people who were in close or intimate relationships,” Siti Lestari, an advocate with the woman’s legal aid foundation (LBH APIK), told me. “Usually, they do it because their girlfriend broke up with them, or for economic reasons.” Tindak pemerasan oleh mantan pacar menjadi komponen umum pada sebagian besar kasus revenge porn, ujar Siti. Seseorang, biasanya seorang mantan, menggunakan foto-foto telanjang seseorang untuk mendapatkan uang tebusan. Kurang lebih pesannya adalah: bayar saya kalau tidak ingin foto-foto itu tersebar.

Videos by VICE

“Untuk kasus pemerasan dengan foto telanjang LBH APIK menangani pada tahun 2015, ada sekitar empat kasus,” kata Siti. “Beberapa kasus dilaporkan ke polisi. Namun ada juga yang kliennya tidak mau atau enggan melaporkan. Karena malu, takut, dan enggak nyaman. Di samping itu karena proses hukum yang panjang membuat korban enggan melaporkan.”

Siti bilang, posisi korban selalu tidak nyaman. Kebanyakan korban melaporkan tindak kriminal ini tanpa ingin menjalani proses peradilan, namun anonimitas internet menyulitkan aparat hukum membuktikan laporan mereka. Dalam kasus-kasus seperti ini, bantuan hukum dan pengacara terkadang adalah kesempatan terbaik mereka untuk mendapatkan bantuan.

“Pelaku menggunakan akun palsu, sehingga polisi kesulitan melacak pelaku,” ujar Siti. “Sebagai jalan lainnya, korban meminta bantuan LBH APIK untuk mediasi dan somasi agar pelaku menghentikan ancamannya.”

Pada akhirnya, Salwa belajar melanjutkan hidup dan menerima bahwa masa lalu biarlah berlalu. Dia tak lagi malu atas kejadian yang menimpanya, dan dia berupaya menjadi lebih terbuka dengan kawan-kawan serta keluarganya. “Kamu juga harus menerima dirimu sendiri,” ujar Salwa. “[Kamu] harus terima apa yang kamu lakukan, dan move on. Enggak usah peduli pikiran orang lain.”

Akan tetapi, jalan yang ditempuh Salwa sulit diikuti, bila korbannya adalah seorang gay. Indonesia beberapa tahun belakangan makin aktif memberangus komunitas LGBTQ dalam negeri. Sebetulnya menjadi gay di Indonesia tidak melanggar hukum—setidaknya di luar Provinsi Nangroe Aceh Darussalam—pada nyatanya polisi tetap saja menggerebek klab malam, hotel, dan tempat tinggal pribadi orang-orang yang dicurigai gay, dan menahan siapapun yang dianggap melanggar undang-undang pornografi.

Suatu malam, Angga* menerima pesan WhatsApp dari seorang laki-laki yang mengancam akan merilis videonya sedang menari telanjang di sebuah acara yang diselenggarakan LSM yang mendukung LGBTQ. Kalau tak ingin rekaman tadi tersebar, Angga harus membayar Rp5 juta. Laki-laki itu menyebut Angga arogan dan culun. Lelaki ini mengingatkan bahwa hal buruk akan terjadi padanya jika video itu tersebar.

“Gimana kalau keluargamu tahu elo gay?” kata lelaki itu, dengan nada mengancam, seperti ditirukan oleh Angga. Angga bilang, harusnya acara malam itu aman bagi dia dan komunitasnya. Para penyelenggara meminta semua orang menyimpan ponsel mereka dalam kantong masing-masing untuk melindungi identitas perempuan dan laki-laki dalam ruangan tersebut. Namun seseorang merekam penampilan Angga dan mengancam akan menyebarluaskannya.

“Seharusnya malam itu kami senang-senang,” ujarnya. “Makanya waktu teman-teman minta saya ikutan nari buat komunitas, saya mikirnya ‘kenapa enggak?’ Soalnya yang datang udah kayak keluarga sendiri.”

Angga ketakutan selama berminggu-minggu. Keluarganya tak pernah tahu dia gay. Angga sangat takut bila sampai orang tuanya menyadari orientasi seksualnya. Lapor polisi juga bukan pilihan. “Ibaratnya lapor polisi itu kayak cerita ke om. Dia bisa aja terus nanti cerita ke ibu kita,” kata Angga.

Pada akhirnya dia tidak mampu membayar uang tebusan, dan tidak ada jaminan laki-laki itu tetap akan menyebarkan videonya sekalipun Angga menebusnya. Akhirnya Angga tidak membayar laki-laki tersebut. Itu bukan pilihannya, dia memang tidak punya uang. Kejadian ini membuat Angga selalu curiga pada orang asing.

“Ternyata kamu tidak bisa sepenuhnya aman, bahkan ketika sedang berada di kumpulan teman dan komunitasmu sendiri,” kata Angga. “Sedih sih, tapi itulah kenyataannya. Ada saja orang yang berusaha mencari-cari kelemahanmu.”

Angga akhirnya memutuskan hubungan dengan komunitas LGBTQ tersebut. Dia tidak pernah lagi menghadiri acara-acara yang ramah pada queer. Ancaman pergi-pergi keluar begitu besar, ujarnya pada saya. Lebih aman jika lingkaran sosialnya kecil saja, karena menurut Angga, kita tidak pernah tahu siapa yang bisa dipercaya.

“Padahal seharusnya kita saling jaga di komunitas,” ujarnya. “Jangan malah manfaatin orang kayak gini. Aku tuh dulu selalu datang lho ke acara-acara mereka. Sekarang enggak lagi deh. Aku sekarang malah udah malas sosialisasi. Rasanya sedih, karena dulu aku percaya banget sama komunitas itu, kami kayak punya tujuan yang sama. Dulu aku optimis dan berani banget. Sekarang yang ada aku selalu takut.”

*Semua nama narasumber di artikel ini telah diganti untuk melindungi identitas mereka sebagai korban, menghindari aksi balasan dari pelaku, serta kemungkinan dipermalukan oleh publik.