Sejak cuplikan beberapa still photo dari proyek Earwig and the Witch beredar di medsos tahun lalu, proyek anyar animasi Studio Ghibli itu segera memicu kontroversi. Banyak penggemar kurang sreg melihat keputusan Ghibli meninggalkan animasi 2D, dan kini mengikuti tren CGI untuk pertama kalinya.
Terlepas dari perdebatan soal selera estetik, Earwig and the Witch tetaplah karya Ghibli, studio animasi legendaris Jepang yang punya rekam jejak menonjol dalam menghadirkan cerita fantastis bagi semua usia. Setelah dinantikan banyak orang, Earwig and the Witch tayang perdana 3 Februari 2021 di berbagai bioskop Jepang dan AS, sementara penonton lain seluruh dunia bisa menyaksikan via streaming lewat platform HBO Max.
Sejauh ini respons kritikus terhadap Earwig and the Witch lebih condong pada pihak yang kontra melihat perubahan karakter animasi Ghibli. Skor ulasan untuk Earwig and the Witch bila dipantau dari metacritic, hanya mencapai rerata 45 (menandakan mayoritas ulasan mengkritik mutu film tersebut secara negatif). Ulasan penonton tidak jauh berbeda, yakni 5,5, yang tetap menandakan Earwig and the Witch gagal mencapai skor di atas 7 yang sering dianggap standar film masuk kategori “menarik”.
Videos by VICE
Agregator skor film Rotten Tomatoes menyajikan hasil tidak jauh berbeda. Skor kritikus untuk Earwig and the Witch jeblok di level 31 persen, sementara ulasan penonton bertengger di level 65 persen saja.
Contohnya bisa kita lihat ulasan yang amat tajam mengkritik karya terbaru Ghibli dari kritikus Richard Ehrlich di IndiWire. Ehrlich menyebut film ini “seakan-akan kehilangan sentuhan manusia sehingga tidak lagi menyisakan pesona apapun.”
Kritikus lain, Maya Phillips dari the New York Times, menilai masalahnya bukan pada karakter animasi 3D. Perkara teknis itu, Ghibli tentu saja beres. Problem terbesar ada pada ceritanya yang dianggap gagal menyediakan emosi khas animasi mereka, plot generik tentang anak yang punya kemampuan sihir, serta akhir cerita tiba terburu-buru. Alhasil penonton tidak sempat bersimpati para karakter utamanya. Penilaian macam ini juga muncul berulang di berbagai ulasan para penonton (yang biasanya berseberangan dengan kritikus film).
Earwig and the Witch awalnya akan diberi judul Aya and the Witch. Namun Ghibli lantas mengubahnya menjadi versi yang sekarang. Ceritanya merupakan adaptasi buku cerita anak karangan Dianna Wynne, bertempat di Inggris pada 1990. Tokoh utamanya, Earwig, adalah gadis 10 tahun yang tidak sadar kalau dirinya punya bakat sihir. Dari panti asuhan, dia diadopsi oleh pasangan eksentrik (salah satunya bernama Bella Yaga) yang ternyata penyihir. Dari sana semua petualangan Earwig di dunia sihir bermula sepanjang durasi 82 menit.
Earwig and the Witch disutradarai Goro Miyazaki, putra kandung sang sutradara animasi legendaris Hayao Miyazaki yang menjadi ikon Ghibli. Penyanyi Indonesia, Sherina Munaf, turut mengisi suara dan bernyanyi dalam film ini.
Seiring waktu kontroversi Earwig and the Witch bakal terus berlanjut, dengan orang mungkin akan terus berdebat perlukan Ghibli tetap membuat animasi 3D (dengan cerita lebih menarik). Bisa juga pandangan penonton berubah lambat laun, dan kelak menganggap Earwig and the Witch sebetulnya tidak buruk-buruk amat. Yang jelas, untuk saat ini, petualangan perdana Ghibli ke teritori animasi komputer CGI ternyata kurang berjalan mulus.