Music

Kenapa Album Taylor Swift Dianggap Memuat Pesan Tersembunyi Kayak ‘Da Vinci Code’?

Artikel ini pertama kali tayang di Broadly.

Keberadaan Taylor Swift di kancah musik pop kayaknya memunculkan subgenre kritik musik tersendiri. Single terbaru Swift, ‘Look What You Made Me Do’, dari albumnya yang segera rilis Reputation, baru saja beredar di Youtube. Kurang dari sepekan, muncul puluhan interpretasi lirik single ‘Look What You Made Me Do’ di internet.

Banyak orang, terutama penggemarnya yang bejibun dan loyal itu, berupaya keras memecahkan “pesan tersembunyi” dari lirik Swift: “The world goes on, another day, another drama, drama / But not for me, not for me, all I think about is karma.”

Teori-teori awal bermunculan sejak dua pekan sebelumnya, ketika Swift merilis sampul album Reputation. Album ini memakai jenis font gotik yang mirip kaus promosi album Kanye West The Life of Pablo pada 2016. Di album itu, Kanye mendeklarasikan, “I feel like me and Taylor might still have sex / I made that bitch famous.”

Nah, dari lirik Kanye yang menghina Swift itulah, segala drama bermula.

Tanggal rilis Reputation, 10 November, adalah tanggal yang sama dengan peringatan kematian ibu Kanye. Tak perlu waktu lama, penggemar Swift dan tukang nyinyir medsos meyakini jadwal rilis tersebut disengaja. Gambar sampul ‘Reputation’ foto hitam-putih Taylor dengan kolase kliping koran berbunyi “Taylor Swift”, ibarat menyiram bensin pada api. “Berdasarkan sampulnya, yang menampilkan Swift dengan lipstik bibir gelap dan dikelilingi cetakan koran, kayaknya tema album ini adalah pembalasannya terhadap pemberitaan media selama ini…” merujuk artikel People yang berjudul, “Have These Fans Figured Out Taylor Swift’s New Single?”

Bukan hal baru kalau Swift membenci media, namun artikel di Newsweek membandingkan serangan Swift terhadap media dengan kritik ngawur Donald Trump terhadap media. Banyak orang curiga Taylor mendukung Trump. “Momentumnya tepat banget,” tulis Newsweek. “Sampul Reputation memberi kita petunjuk-petunjuk soal obsesi dan kejengkelan sang superstar padapemberitaan media. Sulit untuk tidak teringat perilaku ini kepada satu orang terkenal lainnya… ya… tau sendiri lah siapa…”

Teori-teori lain yang cukup populer: single terbaru ini tadinya akan dijuduli “Timeless.” Itu adalah citra yang sedang dipromosikan Swift. Makanya muncul ular-ular di video klipnya, yang merujuk pada perselisihannya dengan mantan teman yang berperilaku “kayak ular”. Misalnya Kim Kardashian, serta perselisihannya dengan Katy Perry (tafsir soal ular ini benar-benar enggak ada dasarnya). Ada juga yang menduga ular itu muncul di video klip mengingat Swift kelahiran 1989 (tahun ular dalam shio Tiongkok). Bahkan ada yang menafsirkan simbol ular ini menggambarkan sosok Taylor yang gemar berganti kulit dan kepribadian seperti ular. Mengikuti serangkaian insiden follow-unfollow di medsos Taylor, penggemar juga menyimpulkan keributan antara Taylor dan Perry sebenarnya settingan manajemen doang biar reputasi keduanya naik. Kenapa bisa mikir gitu? Hanya karena perusahaan kartu ucapan American Greetings ngetwit pesan tersembunyi soal Taylor pada 18 Agustus, hari yang sama Taylor merilis video-video promosi untuk Reputation.

Videos by VICE

Sebagian besar spekulasi orang maupun media ini mudah sekali dibantah. Kita bisa aja bilang semua teori tersebut tidak relevan bagi kritik musik apapun. Kita sibuk mencari makna tersembunyi, adapahl lirik dan video klip ‘Look What You Made Me Do’ sebenarnya cuma simbolisme dangkal yang digunakan Taylor untuk mempromosikan karirnya.

Sisa teori konspirasi lain mudah dibantah pakai logika. Favorit saya adalah perkara font: Tidak mungkin menciptakan celana jogging pakai bahan kulit. Karenanya, mustahil pula menjiplak “font gotik” gaya tipografi yang populer banget, makanya sering jadi bahan kaos-kaos di Walmart. Beberapa pengamat berhasil mencatat—menggunakan bagan berisi perbandingan huruf-per-huruf dengan logo New York Times dan kaus The Life of Pablo—membuktikan sebenarnya tak ada niat mengejek Kanye. Toh font itu populer gara-gara desainer pada norak aja. Nyatanya, akhir pekan lalu Jon Caramanica, kritikus musik surat kabar New York Times ngepost di Instagram, “wow @ Taylor using a modified Pablo font on merch.”

Ah elah. Jurnalis musik kredibel malah ikut kemakan teori-teori enggak jelas di Internet. OK deh. Ikhlasin aja.

Omong-omong, tanggal rilis album Reputation, TMZ melaporkan salah satu narsum di label Universal Music mengaku memilih Jumat sebagai jadwal edar, karena sebagian besar album musik pop sehari sebelum akhir pekan. Tanggal tersebut dipilih berdasarkan “tanggal rilisan Universal Music Group lainnya. Tidak ada korelasinya dengan isu lain.” Meski perbandingan antara Taylor Swift dan Donald Trump ga kerasa maksa—setidaknya mereka berdua mengandalkan branding bintang TV, sering mengaku sebagai korban perlakuan orang lain, dan banyak pihak curiga mereka berdua merancang aksi penipuan di belakang layar terlepas dari citra lugu di hadapan publik—tidak ada bukti konkret Taylor memilih Trump pada pemilu AS 2016. Setidaknya sejauh ini.

Jadi enggak usah pada maksa nyari pesan tersembunyi dari lagunya Taylor Swift deh.