Artikel ini pertama kali tayang di Noisey.
Propagandhi: Victory Lap

Hari-hari ini, semua seniman dari berbagai genre berani menunjukkan sikap politiknya. Baik itu lewat karya mereka atau setidaknya kicauan twiter. Dulu tidak begitu. Hanya sedikit musisi mau mencampurkan politik dan karya. Makanya dulu kita kaget ketika Propagandhi merilis album Less Talk, More Rock, album yang membuat kita ngeh bahwa punk bisa politis banget, dirilis perusahaan rekaman selebor Fat Wreck Chord. Saat album itu keluar, Propaghandi tak punya “kemewahan” berupa dorongan agar musisi berani menyuarakan aspirasi politiknya. Kini, di zaman twitter, dialog berjalan lebih cepat lantaran kanal media sosial ini punya fungsi ganda: membawa kita makin dekat dengan ancaman perang nuklir termutakhir dan menampung serta mengamplifikasi suara-suara alternatif. Pada 1996, Propagandhi mudah menulis lagu yang menyerang kebijakan perusahaan multi-nasional Shell dan membuatnya bak sebuah pencerahahan. Sekarang, lagu protes kayak gitu kurang menggigit. Lewat media sosial, netizen sudah lebih dulu mengonsumsi isu-isu besar, tak lama setelah beritanya meluber ke media sosial. Jadi bayangkan. Ketika aktivisme dan kesadaran politik membuncah di medsos, apa yang bisa dilakukan musisi melek politik? Dalam kondisi seperti inilah, Victory Lap ditulis. Dan sepertinya, Propagandhi berniat tak membawa misi apapun sekalian dalam hiruk pikuk politik dunia era Trump. “Dalam kondisi seperti ini, kami makin punya alasan berhenti menulis lagu tentang liberalisasi dan perjanjian dagang internasional,” ujar Chriss Hannah, vokalis dan gitaris band asal Kanada ini. “Kami bisa saja ikut nimbrung dengan bikin lagu yang konyol dan berisi penyataan sarkas doang. Pokoknya, sekedar buang unek-unek. Setelah itu, giliran kami bikin lagu tentang headbannging.” —David Anthony, On ‘Victory Lap,’ Propagandhi Go from Political Punk Pioneers to Participants
Videos by VICE
Torres: Three Futures

Album ini bisa kita juluki episode terbaru fase evolusi Torres Torres. Selang empat tahun setelah melepas album debutnya, lalu pindah ke Brooklyn, Mackenzie Scott berubah dari penyanyi-pencipta lagu yang bakatnya belum terasah menjadi salah satu artis art rock yang harus diperhitungkan. Dia memiliki ketertarikannya terhadap tema-tema mistisme yang dekat dengan Tuhan. Three Futures, album panjang ketiganya, memamerkan cara baru memandang dunia. Album ini merekam Torres yang mulai meninggalkan kritik keras pada Gejera Baptis tempatnya dibesarkan yang pernah jadi tema utama dua album sebelumnya, Torres and Sprinter. Lewat kebisingan khas musik industrial dan tonenya yang hangat, Three Futures menawarkan spiritualitas anyar, dengan tubuhnya sebagai kendaraan yang ditunggangi roh kudus. —Alex Robert Ross, The Art Rock Rebellion of Torres
Ibeyi: Ash

Album kedua duo saudari kembar berdarah Kuba-Perancis, Ibeyi, telah rilis. Ash diproduseri pendiri XL Recordings Richard Russell. Album ini menampilkan deretan bintang tamu maut seperti Mala Rodriguez, Kamasi Washington, Chilly Gonzales, hingga Meshell Ndegeocello. Ash merupakan kelanjutan album debut mereka yang rilis 2015 lalu, setelah keduanya terakhir kali terdengar di kancah musik sebagai featuring artist di album visual Beyonce, Lemonade, tahun lalu.
Four Tet: New Energy

Kieran Hebden membuat penggemarnya was-was setelah mengunggah senarai tweet yang sumir, penuh janji-janji manis, sebelum akhirnya mengumumkan album ke-9 Four Tet. album berisi 14 track ini berisi kumpulan single yang sudah beredar sebelumnya, seperti “Planet,” “Two Thousand and Seventeen,” “Scientists,” dan “SW9 9SL.”
Protomartyr: Relatives in Descent

Album ke-4 dari kwartet apokaliptis kelabu asal Detroit, Protomartyr. Inilah album pertama mereka yang dilepas lewat label rekaman Domino Records. Relatives in Descent dirilis secara cukup unik pekan lalu. Salinan album ini dimasukkan dalam juke box di empat lokasi acak Amerika Serikat. Bersiap-siaplah menyantap kritik-kritik sosial yang menggigit, serta post punk brutal ala Protomartyr.
The World Is a Beautiful Place & I Am No Longer Afraid to Die: Always Foreign
Band asal Connecticut, The World Is a Beautiful Place & I Am No Longer Afraid to Die, agaknya bukan konsumsi penggemar musik cupu. Album-album band ini begitu sinematik, mengisahkan cerita-cerita yang—alih-alih disampaikan gamblang—selalu memiliki muatan emosional. Dalam album terbaru mereka, Always Foreign, TWIBPIANLF (karena namanya panjang banget kalau ditulis utuh) kembali mengulang resep lama. Mereka tentu mengeksekusinya secara lebih baik tentu. Mereka menyeimbangkan harmoni yang bisa tiba-tiba menyeruak dalam momen-momen sarat dengan kegelisahan. “Marine Tigers”, salah satu track terbaik album ini, adalah contoh paripurna mengenai musik serta kandungan lirik yang mewakili gagasan utama Always Foreign. —David Anthony, The World Is a Beautiful Place & I Am No Longer Afraid to Die Tackle Xenophobia in “Marine Tigers”
Kamasi Washington: Harmony of Difference

Proyek terbaru dari saksofonis Kamasi Washington pasca album jazz-nya The Epic yang rilis 2015 lalu. Harmony of Difference adalah album pendek, berisi 6 track saja, yang menjalar ke segala arah. Kamasi bermain-main dengan ritme baru dan diakhiri magnum opus berdurasi 16 menit, “Truth” di akhir album. Bagi Washington, yang bisa jadi musisi jazz-crossover paling ternama Planet Bumi lewat kolaborasinya bersama Kendrick Lamar dan Lauryn Hill, album pendek yang menarik ini adalah pemuas dahaga fansnya untuk beberapa waktu ke depan, sampai dia merilis LP lagi.
J. Roddy Walston and the Business: Destroyers of the Soft Life

Empat tahun bukan waktu yang singkat kalau kamu punya band. Sepanajng kurun waktu itu, perubahan pasti datang silih berganti, entah itu dalam bandmu atau dalam industri musik secara keseluruhan. Namun, bagi band asal Richmond, Virginia, J. Roddy Walston and the Business, empat tahun ternyata waktu yang sangat lama untuk terus dihantam perubahan. Dibentuk pada 2012, kwartet yang beranggotakan Walston (vocal, piano dan guitar), Billy Gordon (lead guitar dan vocals), Logan Davis (bass dan vocal), serta Steve Colmus (drum) sudah hampir berusia satu dekade saat merilis album ketiga mereka Essential Tremors pada 2013, sebelum akhirnya mengalami kemacetan, kalau bukan terlalu nyaman, dengan proses penggarapan album itu. Untungnya, selama rentang waktu 2013 hingga penggarapan album terbaru mereka Destroyers of the Soft Life , kenyamanan itu mulai menguap. Salah satu alasannya karena mereka memilih meninggalkannya, sebagian alasan lain karena, ya begitulah kehidupan. Dipicu kegundahan selama menjalani tur Essential Tremors, band ini sadar satu-satunya cara supaya mereka bisa maju adalah memulai semuanya lagi dari titik nol. Hasilnya adalah materi-materi dalam album baru ini. —Mischa Pearlman, Hear J. Roddy Walston and the Business Start Over on ‘Destroyers of the Soft Life’
Follow Noisey di Twitter.
More
From VICE
-
Kindle Colorsoft – Credit: Amazon -
Rebecca McBride -
Michaela Vatcheva/Bloomberg/Getty Images -
The Messenger Birds